Mengulas Asal Usul Sejarah Hari Ibu Yang Ditetapkan Pada 22 Desember

Mengulas Asal Usul Sejarah Hari Ibu Yang Ditetapkan Pada 22 Desember
Keajaibanalam
Besok merupakan peringatan hari Ibu dan tepatnya akan jatuh pada Jumat 22 Desember 2017. Kendati demikian bagaimana sejarah dari hari Ibu itu sendiri? Seperti yang telah disebutkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yakni Yohana Yembise yang mengungkapkan bila dengan adanya peringatan Hari Ibu di Indonesia yaitu bertujuan untuk mengenang perjuangan dari kaum perempuan.

“Pada peringatan Hari Ibu setiap tahunnya akan diselenggarakan untuk mengenang serta menghargai perjuangan dari kaum perempuan yang ada di Indonesia,” ungkap Kementerian PPPA, Jakarta, seperti yang pernah dilansir dari Antara, pada Kamis (21/12/2016).

Menurut dirinya bila peringatan yang digelar tersebut ditujukan dalam mengenang kaum perempuan yang selama ini berjuang bersama para kaum lelaki dengan bertugas untuk merebut kembali hak kemerdekaan dari Indonesia.

Selain itu dirinya juga mengatakan bila Hari Ibu yang diselenggarakan di Indonesia sebenarnya dilandasi oleh adanya tekad serta perjuangan dari para kaum perempuan dalam mewujudkan yang namanya kemerdekaan serta dilandasi oleh cita-cita dan juga semangat persatuan kesatuan didalam menuju kemerdekaan Indonesia yang aman, tenteram, damai, adil, dan juga makmur.

Untuk pertama sekali, Hari Ibu ini dideklarasikan pertama kali dalam acara Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928 yang dilakukan di Yogyakarta, tepatnya itu di pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero.

Kemudian untuk kongres tersebut juga dihadiri langsung oleh wakil-wakil dari perkumpulannya seperti Boedi Oetomo, PNI, Jong Madoera, PSI, Walfadjri, Pemuda Indonesia, Jong Java, Muhammadiyah, dan juga Jong Islamieten Bond. Sedangkan untuk tokoh-tokoh populer yang datang diantaranya yaitu Mr. Singgih dan juga Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), serta A.D. Haani (Walfadjri).

Seperti yang diketahui dalam acara kongres yang diselenggarakan tersebut terdapat sekitar 600 perempuan dari berbagai latar usia dan juga pendidikan yang kala itu hadir dalam kongres Perempuan Indonesia Pertama ini. Untuk organisasi yang terlibat dalam acara penyelenggaraan itu yakni diantaranya para Wanita Utomo, Wanita Katolik, Wanita Mulyo, Putri Indonesia, Aisyah, Darmo Laksmi, perempuan-perempuan Sarekat Islam, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamten Bond, serta Wanita Taman Siswa, demikian yang telah tercatat oleh Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama.

Dalam rangka pembahasan di kongres tersebut membicarakan relasi mengenai adanya keterkaitan mengenai perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dari pertemuan hari kedua kongres, dimana Moega Roemah yang saat itu melakukan pembahasan soal perkawinan anak. Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya juga menyampaikan tentang adanya derajat dan harga diri dari para perempuan Jawa. Lalu setelah itu disusul oleh Siti Moendji’ah dengan “Derajat Perempuan” dan Nyi Hajar Dewantara—istri dari Ki Hadjar Dewantara— yang juga turut ikut membicarakan perihal adab perempuan.

Terkait akan hal tesebut ternyata yang tidak kalah pentingnya yaitu pidato Djami dari organisasi Darmo Laksmi yang berjudul “Iboe”. Pada awal pidatonya tersebut telah diceritakan mengenai pengalaman masa kecilnya yang dipandang secara rendah lantaran merupakan seorang perempuan. Pasalnya, dulu pada masa kolonial, hanya anak laki-laki yang mendaptkan posisi teratas dengan menjadi prioritas dalam halnya di bidang pendidikan. Sementara itu bagi mereka yang adalah perempuan, dianggap tidak jauh dari yang namanya urusan kasur, sumur, dan juga dapur atau tepatnya mengerjakan pekerjaan rumahan. Pandangan tentang arti usang itu pun akhirnya mengakar kuat. Pendidikan bagi mereka para perempuan juga bukanlah hal yang penting karena ujung-ujungnya hanya akan berakhir ke dapur.

Tapi mengenai hal tersebut, Djami punya juga berpendapat lain soal hal ini dimana dirinya mengatakan: “Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang ibunya atau perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya.”

Djami juga lantas melanjutkan: “selama anak ada terkandung oleh ibunya, itulah waktu yang seberat-beratnya, karena itulah pendidikan Ibu yang mula-mula sekali kepada anaknya.”

Atas dasar hal itu jugalah kenapa pembangunan dari sekolah-sekolah untuk memajukan perempuan seperti yang dilakukan oleh Rohana Koedoes, Kartini dan juga juga Dewi Sartika memiliki peranan yang penting. Seorang ibu yang pintar dan juga cerdas akan memiliki modal yang besar untuk menjadikan anaknya tersebut pintar.

Oleh sebab itu, pada tanggal 22 Desember 1953, dalam peringatan kongres yang ke-25, melalui Dekrit dari Presiden RI No.316 Tahun 1953, Presiden Sukarno menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.